dejavu Banten on
Jumat, 02 Agustus 2019
Serang (dejavuBanten) - Berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798 Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606, dinyatakan bubar; segala hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh Pemerintah Belanda.
Keputusan tersebut berlaku terhitung mulai tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda, dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan dengan nama 'Nederlandsch Indie' (Hindia Belanda).
Dengan keputusan tersebut, secara resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda. Untuk mengelola Hiindia Belanda ini, maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman Willem Daendels telah diangkat sebagai Gubernur Jenderal, yang mulai berlaku pada hari keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu pada tanggal 18 Februari 1807.
Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808, dan pada tanggal 15 Januari 1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese sebagai pejabat tertinggi VOC terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda dilangsungkan di Batavia.
H.W Daendels mempunyai tugas utama untuk mengkosolidasi kekuatan militer Hindia Belanda dalam menghadapi kemungkinan serangan Inggeris. Untuk itu, ia membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak, Banten-Jawa Barat. Untuk melaksanakan proyek ini H.W Daendels mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa yang diambil dari rakyat Banten. Kerja paksa (rodi) yang diluar batas kemanusiaan mengakibatkan + 1500 orang meninggal dunia.
Melihat perlakuan Belanda kepada rakyatnya, maka Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja menolak untuk ikut melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi mengirimkan tenaga kerja ke proyek tersebut.
Penolakan Sultan Abdul Nasar, menimbulkan amarah Gubernur Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap Patih Wargadireja, yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan memerintahkan Sultan, untuk memindahkan istananya ke Anyer, serta harus mengirimkan setiap hari 1000 tenaga kerja paksa ke proyek-proyek Daendels.
Perlakuan Daendels yang sewenang-wenang kepada Sultan Abdul Nasar, mendapat respon rakyat Banten, dalam bentuk perlawanan yang berkembang menjadi huru-hara yang menyulut seluruh Banten. Pasukan Belanda yang dikirimkan kepada Sultan disergap oleh prajurit, dan rakyat Banten, kemudian dibunuh semuanya: Benteng Belanda yang ada di sekitar istana, dan pegawai-pegawai Belanda yang diperbantukan di istana sultan semuanya diserbu dan dibunuh.
Dalam menghadapi gerakan perlawanan Sultan Banten ini, H.W. Daendels mengirimkan pasukan militer yang sangat besar dari Batavia. Ibukota kesultanan Banten diserang dengan jalan pembunuhan massal, serta perampokan harta milik rakyat Banten. Patih Wargadireja yang mati tertembak dalam pertempuran itu, jenazahnya dilemparkan ke laut oleh tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan dibuang ke Ambon dan seluruh daerah kesultanan dirampas, serta langsung dibawah pemerintahan penguasa Belanda dari Batavia.
Sebagai diplomasi politik, maka putera mahkota diangkat menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Muhammad Aliuddin, yang berkuasa dari sebagian kecil daerah kesultanan Banten.
Meskipun sudah luluh lantak, tetapi ternyata semangat melawan kaum penjajah masih tetap berkobar, dibawah pimpinan Pangeran Ahmad, mulai kembali menyusun kekuatan rakyat, yang kali ini bukan hanya rakyat Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat besar Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda. Berulang kali pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan rakyat Banten-Lampung ini memakan waktu yang cukup lama, meskipun akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa dikalahkan oleh Belanda.
Labels:
Penjajahan,
Politik
Thanks for reading Sejarah VOC di Banten. Please share...!
0 Komentar untuk "Sejarah VOC di Banten"