-->

YSN (Yayasan Salakanagara Nusantara), dejavu Banten

Wanita Cantik di Mata Pria

Wanita Cantik di Mata Pria
Wanita-wanita Berparas Menawan Hati

News

Salakanagara merupakan Kerajaan (Sunda) Tertua dI Indonesia 130 - 362 M   Teluk Lada   Silsilah Sultan Banten   Lepasnya Lampung dan Penghapusan Kesultanan Banten 1808 - 1813   Tradisi Suku Baduy Dalam   Perang Saudara di Kesultanan Banten 1682 - 1684   Pembangunan Perekonomian Kesultanan Banten 1663 - 1667   Puncak kejayaan Kesultanan Banten 1651-1682   Legenda Syekh Maulana Mansyurudin   Sejarah VOC di Banten  

Didukung Oleh

Back to Blogspot A to Z

Sejarah Kesultanan Banten 1526 - 1813

Serang (dejavuBanten) - Berawal pada + tahun 1526, saat kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan, yang kemudian dijadikan sebagai pangkalan militer, serta kawasan perdagangan.

Jadi, Banten Lama adalah ibukota Kesultanan Banten yang dibentuk tahun 1526 atas dasar perluasan kekuasan, dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak ke pesisir barat pulau Jawa. Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanudin (puteranya) membangun kerajaan ini dan menjadikannya kuat.

Hal tersebut sebagai tindak antisipasi, saat terealisasinya perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati adalah sosok yang berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah takluk, Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan Surosowan (dibangun 1600 m) menjadi kawasan kota pesisir, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama + 3 abad, Kesultanan Banten memerintah, dan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, dan pada saat yang bersamaan, penjajah dari Eropa telah berdatangan, serta menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan asing untuk memperebutkan SDA, maupun bisnis / perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan, membuat lemahnya hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya sendiri.

Kekuatan politik Kesultanan Banten akhirnya runtuh pada tahun 1813, yang ditandai oleh Istana Surosowan (di Kota Intan), yang sebelumnya sebagai simbol kekuasaan, akhirnya dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten berada di posisi tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Diawali dengan Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten
Pada awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten.

Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja, namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan tersebut kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan penguasa Wahanten Pasisir.

Di masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa :
  • Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi), sebagai penguasa wilayah Wahanten Pasisir
  • Arya Suranggana sebagai penguasa wilayah Wahanten Girang


Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m.

Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479.

Sebelum kembali ke kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah sempat menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.

Latar belakang Penguasaan Banten
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir) dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.

Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak, membuat cemas Jaya Dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka, yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.

Dari catatan tahun 1513 M, Tome Pires seorang pelaut Portugis, menuliskan, bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten pada saat itu.

Syarif Hidayatullah dan putranya Maulana Hasanuddin melakukan dakwah Islam dengan cara persuasif, sehingga masyarakat tertarik dan secara  sukarela sebagian dari masyarakat tersebut, lambat laun memeluk agama Islam

Dari aktivitas dakwah di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt).

Dirinya pernah tinggal selama + 10 tahun di kabupaten Pandeglang untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), hingga ke pedalaman Wahanten; seperti Gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang, Gunung Karang, Gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon, dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.

Tahun 1521
Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang arab (Timur Tengah) yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda.

Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi persaingan perdagangan, tetapi upaya tersebut kurang berhasil, bahkan pedagang arab (Timur Tengah)  jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut.

Pada saat itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari kekuatan pendukung, untuk menjadi mitra dalam hal mengusung kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, pada akhirnya Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan menjalin kerjasama dengan Portugis, untuk dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.

Untuk merealisasikan persahabatan tersebut. pada tahun 1521 Jaya dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), untuk meyakinkan bangsa Portugis sebuah kerjasama yang saling menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis. 

Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk menjalankan perdagangan secara bebas, terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda.

Sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis, jika kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon, dengan memberi hak kompensasi kepada Portugis untuk membangun benteng.

Tahun 1522
Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam), untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif

Dalam perjanjian tanggal 21 Agustus 1522, menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten.

Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Peristiwa ini diberi tanda dengan pembangunan sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca: Padraun).

Sementara Padrão dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, masyarakat Sunda, disebut sebagai Layang Salaka Domas dalam, dan dari pihak kerajaan Sunda perjanjian yang ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar)  Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.

Penguasaan Banten
Pada tahun 1522, Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, dan juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan. 

Sementara pucuk pimpinan di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan, dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.

Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten. Dalam catatan sejarah, kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati, tidak menghadapi halangan dari masyarakat setempat, sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang.

Dalam catatan sejarah Banten, dijelaskan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional dijelaskan bahwa Arya Suranggana penguasa Banten Girang, terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin hingga pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang.

Melihat situasi di atas, Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya, untuk itu menantangnya untuk  sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika  dimenangkan Arya Suranggana, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktivitas dakwahnya. 

Sabung Ayam pun segera dilaksanakan, dan dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin, sehingga ia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya, sementara Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.

Setelah Arya Suranggana meninggalkan kompleks Banten Girang, maka kompleks tersebut digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, setidaknya sampai di penghujung abad ke-17.

Penyatuan Banten
Atas petunjuk Sunan Gunung Jati, atau ayah dari Maulana Hasanuddin, kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir dari kompleks Surosowan, sekaligus membangun kota di pesisir

Kompleks istana Surosowan akhirnya selesai pada tahun 1526. Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya sebagai penguasa Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati.

Akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (tanggal 8 Oktober 1526 M), kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin.

Dari kejadian tersebut di atas, sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten, meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (Sultan) di Banten. Dengan melihat catatan sejarah tersebut, maka banyak yang berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten, dan bukannya Maulana Hasanuddin.

Sementara pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi Sultan di wilayah Banten oleh ayahnya sendiri, yakni  Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati - sebagai Sunan ke 4). Sehingga Kesultanan banten menjadi Kesultanan yang mandiri.

Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh Kesultanan, Banten tercatat lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.

Banten sebagai kesultanan
Maulana Hasanuddin pun terus berekspansi hingga ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah, yang  dianugerahi keris oleh raja tersebut.

Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570, pada masa kekuasaannya ia melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda, dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. 

Kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bernama Maulana Muhammad, mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugis di nusantara, tetapi gagal karena ia meninggal dalam pada masa itu.

Maulana Muhammad kemudian digantikan oleh anaknya, Pangeran Ratu, atau dapat dikatakan, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir.

Pada masa ini Sultan Banten secara intensif melakukan hubungan diplomasi internasional dengan kekuatan lain, salah satu yang diketahui adalah  surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.

Literasi YSN

Sumber : dari berbagai sumber
Foto : Istimewa
Indonesia Mandiri
Labels: Kesultanan

Thanks for reading Sejarah Kesultanan Banten 1526 - 1813. Please share...!

0 Komentar untuk "Sejarah Kesultanan Banten 1526 - 1813"

Wanita Cerdas Hormati Pria Berpengetahuan Luas

Wanita Cerdas Hormati Pria Berpengetahuan Luas
Jendela Nusantara

Proud to be Indonesia

Proud to be Indonesia
Back to Local Wisdom

Iklan : WWT, IM. OtO, WM


Back To Top